Tugas : Pengantar Ilmu Peternakan
(PIP)
KONTRIBUSI
TERNAK DAN HASIL TERNAK
TERHADAP
KEHIDUPAN UMAT MANUSIA
O L
E H :
REZA SETYAWAN
L1A1 12 094
FAKULTAS
PETERNAKAN
JURUSAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2 0 1 3
KATA PENGANTAR
Pertama-tama
marilah kita panjatkan Puji dan syukur
kita kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
Hidayah-Nya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan semaksimal mungkin
dan tepat pada waktunya dengan judul “KONTRIBUSI TERNAK DAN HASIL TERNAK TERHADAP
KEHIDUPAN UMAT MANUSIA” dalam makalah ini disajikan pokok-pokok
pembahasan yang berkaitan dengan manfat ternak dan hasil ternak bagi kehidupan
manusia.
Sebagai
mahasiswa tak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak yang membantu/membimbing saya selama menyusun
makalah ini.semoga bantuan dari tman-teman mendapat imbalan yang setimpal dari
Allah S.W.T.
Saya
menyadari bahwa dalam membuat malakalah ini banyak kekurangannya masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saran dan
kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk
pembuatan makalah selanjutnya.semoga makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dimasa depan.
Kendari,14
Januari 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN ………………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. .
2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ………………………………………………….. 4
1.2 Tujuan
…………………………………………………………… 5
1.3 Manfaat
…………………………………………………………. 5
1.4 Permasalahan……………………………………………………. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pendapat para pakar…………………………………………….. 7
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Arti
Penting Pangan Hewani…………………………………. 10
3.2
Rendahnya Konsumsi………………………………………….. 11
3.3
Manfaat Protein Hewani………………………………………... 11
4.4
Pengembangan Ternak Lokal...................................................... 12
3.5 Produk Peternakan……………………………………………… 13
3.6 Tantangan Penyedian Protein Hewani…………………………. 14
3.7
Upaya Penyediaan Pangan Hewani di Indonesia……………… 16
BAB
IV PENUTU
3.1 Kesimpulan……………………………………………………… 18
3.2
Saran…………………………………………………………….. 18
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………… 19
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 latar
belakang
Peternakan adalah pengusaha ternak
untuk tujuan memperoleh hasil dari ternak tersebut (ternak) untuk keperluan
manusia. Sedangkan arti ternak itu sendiri adalah hewan piaraan, yang
kehidupannya yaitu mengenal tempat perkembangbiakan, serta manfaatnya diatur
dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan
dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia.
Ada beberapa sub bab dari peternakan itu sendiri
diantaranya, (1) peternakan murni (pure
breeding) adalah cara peternak dimana perkembangbiakan ternaknya dilakukan
dengan jalan pemacekan/perkawinan antara hewan-hewan yang termasuk satu rumpun.
(2) perusahaan peternakan (livestock
farming enterprise) adalah peternakan yang dilakukan pada tempat tertentu,
serta perkembangbiakan ternaknya dan manfaatnya diatur dan diawasi oleh
peternak/manusia. (3) peternakan komersial (commercial
farm) adalah usaha peternakan yang khusus menghasilkan hasil-hasil ternak
yang akan dikonsumsi masnusia. (4) peternakan sampingan (side line livestock
farming) adalah usaha peternakan yan dilakukan secara sambilan untuk
mendapatkan tambahan hasil disamping usaha utama.
Manusia memerlukan bahan pakan untuk menunjang kelangsungan
hidupnya. Bahan pakan berguna untuk membangun sel-sel tubuh dan menjaga agar
tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya. Bahan pangan adalah bahan yang
memungkinkan manusia yang tumbuh dan berkembang serta mampu beraktivitas dan
memelihara kondisi tubuh. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging ,
telur dan susu serta olahan lainnya) sangat besar dan diproyeksikan akan
meningkat sangat pesat selama periode tahun 2005-2020 mendatang khususnya
Negara-negara yang sedang berkembang.
Penduduk dunia saat ini sekitar 6,3 milyar dan di
perkirakan meningkat sebanyak 76 juta setiap tahunnya . dari jumlah penduduk
tersebut sekitar 5,3 milyar (84%) diantaranya berdomisili di Negara-negara yang
sedang berkembang yang rata-rata tingkat konsumsi protein hewaninya relative
sangat rendah. Indonesia termasuk Negara yang sedang berkembang dengan jumlah
penduduk sekitar 212 juta jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% pertahun
serta meningkatkan pendapatan perkapita sekitar 3% pertahun. Dari jumlah
penduduk tersebut tentunya membutuhkan pangan hewani yang cukup besar dan
diproyeksikan meningkat sangat cepat di masa mendatang. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein
hewani , juga ikut mendorong meningkatnya permintaan terhadap pangan hewani.
1.2
Tujuan
Tujuan dari penuliusan makalah ini adalah sebagai syarat dan
tugas Ujian Tengah Semester (UTS).mata kuliah “Pengantar Ilmu Peternakan”,serta
mencari informasi mengenai analisis data
terhadap konstribusi dan hasil ternak untuk kebutuhan hidup umat manusia.
1.3 Manfaat
Manfaat dari makalah
ini adalah untuk mengetahui seberapa besar peran ternak terhadap
pemenuhan pangan hewani serta pemenuhan gizi bagi kebutuhan manusia.
1.4 Permasalahan
Ada
beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain :
Ø Apakah Arti penting pangan hewani itu
?
Ø Berapa besar tingkat konsumsi gizi
di Indonesia ?
Ø Apakah Manfaat protein hewani bagi
kehidupan manusia ?
Ø Bagaimana cara mengembangan Ternak
Lokal ?
Ø Apa produk peternakan itu ?
Ø Apa sajakah tantangan dalam
penyediaan protein hewani bagi kebutukhan manusia ?
Ø Bagaimana upaya dalam penyedian
pangan hewani di Indonesia ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendapat
Para Pakar.
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup sehat. Kita
memerlukan pangan hewani (daging, susu dan telur) sebagai sumber protein
untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan
menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Meskipun
masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer namun hingga kini
konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2000,
konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan
konsumsi penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg),
Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International, 2003). Konsumsi
daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia
100 gram/kapita/hari (Aini, 1990 dalam Rusfidra, 2007).
Begitupun konsumsi telur penduduk
Indonesia baru 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg
dan Fhilipina 6,2 kg. Bila satu kilogram telur rata-rata terdiri atas 17 butir,
maka konsumsi telur penduduk Indonesia hanya sekitar 46 butir/kapita/tahun atau
1/8 butir/kapita/hari. Pada periode yang sama, penduduk Malaysia setiap
tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur/kapita/hari.Konsumsi susu
masyarakat Indonesia sangat rendah, yakni sekitar 7 kg /kapita /tahun, Malaysia
mencapai 20 kg/kapita/tahun, sedangkan masyarakat Amerika Serikat
mengkonsumsi susu 100 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging, telur dan susu yang
rendah menyebabkan target konsumsi protein hewani sebesar 6 gram/kapita/hari
masih jauh dari harapan. Angka ini dapat dicapai bila konsumsi terdiri dari 10
kg daging; 3,4 kg telur dan 6 kg susu/kapita/tahun. Padahal untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani yang ideal adalah
26 gram/kapita/hari (Tuminga et. al. 1999).
Analisis paling akhir oleh Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak
Universitas Nasional Seoul (1999) menyatakan adanya relasi positif antara
tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan
perkapita. Makin tinggi konsumsi protein hewani penduduk, makin tinggi UHH dan
pendapatan domestik brutto (PDB) suatu negara. Masyarakat di beberapa negara
berkembang seperti Korea, Brazil, China, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki
konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 65-75 tahun.
Negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi
protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85
tahun. Sementara itu, negara-negara yang konsumsi protein hewaninya di bawah 10
gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya
55-65 tahun (Hadi, 2002).
Konsumsi protein hewani yang rendah
dapat berdampak pada tingkat kecerdasan dan kualitas hidup penduduk. Negara
Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia,
sekarang jauh meninggalkan Indonesia, terutama dalam kualitas sumber daya
manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks
(HDI) tahun 2004 yang dikeluarkan United Nation Development Program
(UNDP). Dalam periode tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-111, satu
tingkat di atas Vietnam (112), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya,
Singapura (peringkat 25), Malaysia (59), Thailand (76) dan Fhilipina (83)
(Rusfidra, 2006a).
Studi Monckeberg (1971) dalam Rusfidra (2005c) menunjukkan
adanya hubungan tingkat konsumsi protein hewani pada anak usia pra-sekolah.
Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak usia prasekolah dapat
mengakibatkan anak-anak berbakat normal menjadi sub-normal atau bahkan
defisien. Peningkatan konsumsi protein hewani dapat mengurangi frekuensi
kejadian defisiensi mental. Ironisnya mereka pada umumnya berasal dari keluarga
tidak mampu (miskin). Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan
untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) dalam Rusfidra (2005c) membuktikan
peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada orang yang
menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut dikenal dengan
istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi protein
yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang dikonsumsi harus berasal
dari protein hewani. Protein hewani memiliki komposisi asam amino yang lengkap
dan dibutuhkan tubuh. Nilai hayati protein hewani relatif tinggi. Nilai hayati
menggambarkan berapa banyak nitrogen (N) dari suatu protein dalam pangan yang
dimanfaatkan oleh tubuh untuk pembuatan protein tubuh. Semakin tinggi nilai
hayati protein suatu bahan pangan makin banyak zat N dari protein tersebut yang
dapat dimanfaatkan untuk pembentukan protein tubuh. Hampir semua pangan asal
ternak mempunyai nilai hayati 80 ke atas. Telur memiliki nilai hayati tertinggi
yakni 94-100 (kompas, 2009 dalam Rusfidra, 2005).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Arti Penting Pangan Hewani
Dalam Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan (UU
Pangan) disebutkan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat Indonesia. Pangan tersebut dapat
berasal dari bahan nabati atau hewani dengan fungsi utama sebagai sumber zat
gizi. Berdasarkan evaluasi Susenas 2003, tingkat konsumsi pangan hewani
masyarakat Indonesia baru sekitar 58% dari kebutuhan (Dirjen Bina Produksi
Peternakan, 2004). Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih bertumpu
pada bahan pangan nabati untuk pemenuhan gizinya. Rendahnya konsumsi pangan
hewani telah memberi kontribusi terhadap munculnya kasus gizi buruk di
Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Laporan WHO (World Health
Organization) menyebutkan bahwa dalam kurun tahun 1999-2001 sekitar 12,6
juta jiwa penduduk Indonesia menderita kurang pangan (SCN, 2004). Jumlah
tersebut mungkin menjadi bagian dari masyarakat yang mengalami defisit energi
protein. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 terungkap
bahwa sekitar 81,5 juta jiwa masyarakat Indonesia mengalami defisit energi
protein, terutama protein hewani (Pambudy, 2004). Pemenuhan kebutuhan pangan
hewani bagi sekitar 230 juta jiwa penduduk Indonesia yang terus bertambah lebih
dari 1,3% per tahun merupakan permasalahan yang perlu diupayakan jalan keluarnya.
Hingga saat ini produk olahan hasil ternak di Indonesia masih terbatas,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan nasional masih harus impor (Dirjen Bina
Produksi Peternakan, 2004). Untuk penyediaan hasil ternak dalam jangka panjang,
perlu optimalisasi seluruh segmen kegiatan industri peternakan, yaitu: (1)
industry primer seperti pembibitan dan budidaya ternak, (2) industri sekunder
dalam kegiatan pasca panen, dan (3) industri tersier di bidang distribusi dan
pemasaran (Chamdi, 2004). Goldberg (1991) memprediksikan bahwa dalam agribisnis
global tahun 2000-2028, focus kegiatan dan penyerapan dana terbesar adalah
untuk industri sekunder dan tersier. FAO juga telah mencanangkan bahwa tahun
2020 akan terjadi Revolusi Peternakan (Livestock Revolution) sebagai The
Next Food Revolution. Oleh sebab itu, peranan teknologi pangan sebagai inti
industri sekunder peternakan dalam pengembangan produk olahan hasil ternak
harus ditingkatkan untuk antisipasi kompetisi global saat ini dan di masa
depan.
3.2 Rendahnya Konsumsi
Tingkat konsumsi hasil ternak bagi masyarakat Indonesia,
dinilai masih jauh dibawah kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan analisis
dari Pola Pangan Harapan (PPH), tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan
protein asal ternak baru mencapai 5,1 g/kap/hr yang setara dengan konsumsi susu
7,5 kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th (Dirjen Bina
Produksi Peternakan, 2004). Tingkat konsumsi protein hasil ternak tersebut
terhitung kecil dibanding jumlah konsumsi protein (total nabati dan hewani)
yang dianjurkan sebesar 46,2 g/kap/hr (Tranggono, 2004). Sebagai pembanding,
konsumsi susu di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa sudah lebih dari 80
kg/kap/th. Konsumsi susu beberapa negara ASEAN juga relatif tinggi, yaitu
Philippina 18,8 kg/kap/th, Malaysia 22,5 kg/kap/th, Thailand 28,0
kg/kap/th
dan Singapura 32 kg/kap/th.
3.3 Manfaat Protein Hewani
Studi Monckeberg (1971) dalam Rusfidra (2005c) menunjukkan
adanya hubungan tingkat konsumsi protein hewani pada anak usia pra-sekolah.
Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak usia prasekolah dapat
mengakibatkan anak-anak berbakat normal menjadi sub-normal atau bahkan
defisien. Peningkatan konsumsi protein hewani dapat mengurangi frekuensi
kejadian defisiensi mental. Ironisnya mereka pada umumnya berasal dari keluarga
tidak mampu (miskin).
Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) dalam Rusfidra (2005c) membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut dikenal dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang dikonsumsi harus berasal dari protein hewani.
Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) dalam Rusfidra (2005c) membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut dikenal dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang dikonsumsi harus berasal dari protein hewani.
Protein hewani diduga berperan terhadap daya tahan eritrosit
(sel darah merah) sehingga tidak mudah pecah. Protein hewani juga berperan
dalam mempercepat regenerasi sel darah merah.Protein hewani memiliki komposisi
asam amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh. Nilai hayati protein hewani
relatif tinggi. Nilai hayati menggambarkan berapa banyak nitrogen (N) dari
suatu protein dalam pangan yang dimanfaatkan oleh tubuh untuk pembuatan protein
tubuh. Semakin tinggi nilai hayati protein suatu bahan pangan makin banyak zat
N dari protein tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan protein
tubuh. Hampir semua pangan asal ternak mempunyai nilai hayati 80 ke atas. Telur
memiliki nilai hayati tertinggi yakni 94-100 (Hardjosworo, 1987 dalam Rusfidra,
2005e).
4.4 Pengembangan Ternak Lokal
Dalam rangka memacu pertumbuhan produksi peternakan
nasional, seharusnya perhatian lebih difokuskan pada usaha peternakan rakyat
dan ternak lokal yang tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan. Menurut
Martojo (2003) jumlah rumahtangga peternakan sekitar 4,5 juta rumahtangga
(RTP). Bentuk peternakan yang ada pun sebagian besar merupakan peternakan
rakyat, yaitu sapi potong (99,6 %), kambing/domba (99,99 %), kerbau (88,7 %),
sapi perah (91,1 %), ayam ras petelur (82,4 %), ayam buras dan itik (100 %) (Soehadji,
1992 dalam Rusfidra, 2004) .Pada umumnya ternak-ternak yang dipelihara pada
usaha peternakan rakyat adalah ternak lokal. Ternak lokal merupakan sumber daya
ternak yang sudah lama dipelihara peternak pedesaan dan berperan penting dalam
sistem usahatani di perdesaan. Usaha peternakan rakyat inilah yang seharusnya
menjadi basis pengembangan peternakan nasional. Pengembangan komoditi ternak
yang berbasis bahan pakan impor sangat rawan dijadikan sebagai basis
pembangunan peternakan nasional. Alasannya adalah tiga komponen bahan pakan
(jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan) merupakan bahan impor yang menguras
devisa. Itulah sebabnya usaha peternakan berbahan baku impor (ayam ras pedaging
dan petelur) mengalami kontraksi yang tajam ketika krisis ekonomi dan
bangkrutnya secara massal para peternak ayam ras.
3.5 Produk Peternakan
Produk hasil ternak merupakan bahan pangan yang sangat
penting bagi rakyat selain bahan pangan pokok rakyat (beras). Sebagai
pendamping sajian makan sehari-hari , bahan pangan hewani merupakan sumber
protein penting (selain protein nabati) yang sangat berperan dalam pemenuhan
gizi masyarakat. Secara tradisional, sejak dahulu, masyarakat kita sudah
menyandingkan produk pangan hewani ini dalam menu makanan sehari-harinya.
Produk pangan hewani umumnya berupa daging, susu, telur dan
ikan yang sangat kaya protein. Protein ini juga sangat kaya asam amino esensial
yang sangat sesuai dengan kebutuhan manusia. Produk hewani mempunyai peran yang
sangat penting, hal ini berkaitan pada asupan kalori-protein yang rendah pada
anak balita menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko
terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performs mereka
di sekolah dan menurunkan prokduktivitas tenaga kerja setelah dewasa.
Kasus malnutrisi yang sangat parah pada usia balita dapat menyebabkan bangsa
ini mengalami loos generation. Akibatnya adalah rendahnya daya saing SDM bangsa
ini dalam percaturan global antar bangsa.
Daging merupakan salah satu jenis ternak yang hampir tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan
sumber protein hewani dengan kandungan gizi yang cukup lengkap. Dengan
meluasnya konsumsi daging, sehingga telah banyak bentuk hasil olahan yang
berasal dari daging seperti daging kornet, sosis, dendeng, abon dan daging sapi
asap dan lain-lain. Bentuk-bentuk pengolahan ini pada dasarnya sangat
dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang mengolahnya sehingga hasil olahan
tersebut dapat juga.
3.6 Tantangan Penyedian Protein Hewani
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan
mencapai 273,7 juta jiwa. Demikian dikatakan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan/Kepala Bappenas saat menyebutkan proyeksi penduduk Indonesia tahun
2000-2025 (Kompas, 3/8/2005). Dengan jumlah penduduk sebesar itu Indonesia
merupakan pasar yang luar biasa besar.
Namun sayangnya, kita masih sangat tergantung pada bahan
impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi hidup sebanyak 450 ribu ekor dari
Australia. Setiap tahun negara agraris ini mengimpor 1 juta ton bungkil kedele,
1,2 juta ton jagung, 30 ribu ton tepung telur dan 140 ribu ton susu bubuk.
Importasi bahan pangan tersebut menguras devisa negara cukup besar.Sebagai
negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat negara di dunia, Indonesia
termasuk pasar potensial bagi negara-negara lain. Produksi dalam negeri belum
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan
tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini konsumsi protein hewani penduduk
Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi
protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Han, 1999).
Peningkatan konsumsi protein hewani dapat dipacu dengan meningkatkan pendapatan
rumahtangga dan kesadaran gizi masyarakat
Merebaknya kasus gizi buruk (malnutrisi) dan busung lapar
pada anak-anak usia bawah lima tahun (balita) beberapa waktu lalu sangat
merisaukan kita sebagai bangsa. Sesungguhnya, kasus malnutrisi disebabkan
kurangnya asupan kalori-protein pada tingkat rumahtangga. Masa balita merupakan
“periode emas (the golden age)” pertumbuhan anak manusia dimana sel-sel otak
sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat
dibutuhkan agar otak berkembang secara optimal, tidak sampai tulalit, (Nadesul,
Kompas 9/7/05).
Asupan kalori-protein yang rendah pada anak balita
menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko terkena penyakit,
mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performans mereka di sekolah dan
menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa (Pinstrup-Andersen, 1993
dalam Rusfidra, 2005a). Kasus malnutrisi yang sangat parah pada usia balita
dapat menyebabkan bangsa ini mengalami loss generation. Akibat berikutnya
adalah rendahnya daya saing SDM bangsa ini dalam percaturan global antar bangsa.
Namun sayangnya, ditengah usaha berbagai pihak mempromosikan
peningkatan konsumsi protein hewani, negara ini kembali disibukkan oleh
merebaknya wabah flu burung. Hingga Januari 2006 jumlah pasien yang diduga
terinfeksi flu burung berjumlah 85 orang, dimana 17 pasien diantaranya
meninggal dunia. Realitas ini menunjukkan bahwa kasus flu burung masih
bersirkulasi di sekitar kita Oleh karena itu, kita berharap kepada aparatur
pemerintah (Deptan dan Depkes).
Agar bekerja dengan visi dan rencana kerja yang sistematis,
tidak bekerja serabutan seperti selama ini. Selama ini terkesan birokrat
bekerja seperti “pemadam kebakaran”, baru kelihatan program kerjanya setelah
timbulnya masalah. Wabah flu burung telah berdampak pada turunnya konsumsi
daging dan telur karena adanya kekawatiran masyarakat akan terinfeksi flu
burung bila memakan telur dan daging ayam. Meskipun wabah flu burung bersifat
fatal (mematikan) pada unggas, namun konsumen tidak perlu kawatir untuk
mengkonsumsi daging ayam dan telur. Karena dengan pemanasan pada suhu 56 C
selama 3 jam atau pada 60 C selama 30 menit virus Avian Influenza (AI) akan
mati. Artinya, selama konsumen tidak memakan telur atau daging ayam mentah,
maka kecil peluang terinfeksi AI (Rusfidra, 2005b).
Penularan
flu burung selama ini terjadi melalui pernafasan (air borne desease), bukan
melalui makanan (food borne desease). Karena itu, kampanye makan daging ayam
dan telur secara aman merupakan langkah cerdas untuk memulihkan citra bahwa
memakan daging ayam dan telur relatif aman sepanjang kedua komoditi unggas
tersebut diolah secara benar sebelum dimakan.
Selain itu, juga diperlukan program penyediaan sumber
protein hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada
tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, program “Family Poultry” layak
ditimbang sebagai sebuah solusi mengatasi terjadinya malnutrisi, efektif dalam
pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan
sebagai sumber pendapatan (Rusfidra, 2005a, Rusfidra, 2005c, Rusfidra, 2005d).
3.7
Upaya Penyediaan Pangan Hewani di Indonesia
Upaya peningkatan ketersediaan pangan menjadi program
pemerintah yang sangat sulit dilakukan, terutama di bidang peternakan yang
berhubungan dengan swasembada daging. Hal ini terkendala masalah penyediaan
bibit, modal serta SDM , lebih dari 90% ternak sapi dipelihara oleh sekitar 6,5
juta rumah tangga di pedesaan dengan pengetahuan peternakan yang minim. Banyak
dari peternak sapi potong itu juga telah berusia tua, dengan tingkat pendidikan
lulusan sekolah dasar sehingga pengetahuan mereka pun terbatas.
Sulitnya memenuhi pangan hewani berupa daging tercermin pada
awal pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla , program swasembada daging
sapi ditargetkan pada tahun 2005, kemudian direfisi 2010 . namun tahun 2010 hal
itu juga tidak akan tercapai karena tidak mungkin dalam 2 tahun ditambah
populasi bibit sapi 1 juta ekor. Selain tidak ada dana , bibit juga tidak ada.
Mentri pertanian sebelumnya, Anton Apriantono, mengakui, program swasembada
daging sapi gagal dicapai. Gagalnya program swasembada daging sapi karena laju
pertambahan populasi kalah cepat(kompas, 9/9/2009)
Departemen Pertanian menargetkan swasembada daging sapi
secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging
sapi didalam negeri diproyeksikan meningkat 67% pada tahun 2010 menjadi 90% di
tahun 2014. “dengan berbagai upaya ini, populasi sapi potong ditargetkan
meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6 juta ekor pada tahun
2014” kata Suwarno . hal ini disampaikan pada saat memaparkan rencana strategis
kecukupan daging 2010-2014 dalam seminar nasional pengembangan ternak potong
untuk mewujudkan program kecukupan / swasembada daging di Fakultas
Petrnakan Universitas GajahMada , Jogjakarta , sabtu (7/11).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hewan ternak sebagai sumber pakan hewani mempunyai beberapa
manfaat yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia antara lain, : untuk
kecerdasan, protein hewani juga dibutuhkan untuk daya tahan tubuh, Protein
hewani diduga berperan terhadap daya tahan eritrosit (sel darah merah) sehingga
tidak mudah pecah, Protein hewani juga berperan dalam mempercepat regenerasi
sel darah merah.
Analisis paling akhir oleh Prof.
I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul (1999)
menyatakan adanya relasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan
umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Makin tinggi konsumsi
protein hewani penduduk, makin tinggi UHH dan pendapatan domestik brutto (PDB)
suatu negara.ebagai
sumber pangan hewani sangat berperan penting bagi kelangsuna
Dengan demikian, hewan ternak sebagai sumber pangan hewani
sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia dan berpengaruh pada
kwalitas SDM seseorang.Karna menghasilkan cakupan energy yang sangat
tinggi,selain di manfaatkan dagingnya hewan ternak juga bisa memberikan nilai
tambah penghasilan bagi peternak.
4.2 Saran
Makalah
ini masih jauh dari sempurna,oleh karna itu saya sangat memerlukan saran dari
teman-teman dan dosen pembimbing.agar makalah lebih sempurna dari sekarang ini.dan
dapat bermanfaat untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, I. 1990. Indigenous
poultry production in South East Asia.
World Poultry
Science Journal.Jakarta
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan
sapi potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor
Kompas, 2009. Swasembada Daging Sapi. 09 November 2009.http://m.kompas.com. (diakses pada tanggal 11 januari
20013)
Rusfidra. 2005d. Protein
hewani dan kecerdasan. Arikel Opini Harian Sinar Harapa.Bogor
Rusfidra. 2005c.Mencegah
gizi buruk dan mengentaskan kemiskinan: peternakan skala rumahan.
Artikel iptek Harian Pikiran Rakyat. Bandung, 25 Agustus 2005.
Tuminga. 1999.
Livestock 2020: The next food
revolution. www.ifpri.org/2020/briefs/number61.html.(diakses pada tanggal 11 Januari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar